Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi adalah sebuah
kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia yang
kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan
Melayu. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Muaro Sebo,
Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang Hari,
sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Koordinat Selatan 01* 28'32"
Timur 103* 40'04". Candi tersebut diperkirakakn berasal dari abad ke-11
M. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang
paling terawat di pulau Sumatera.
Penemuan dan pemugaran
Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1823
oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan
daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975,
pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin
R. Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno pada beberapa lempeng yang
ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar
dari abad ke-9-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang
telah dipugar, dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan
candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong
Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.
Struktur kompleks percandian
Kompleks percandian Muaro Jambi terletak pada tanggul alam kuno Sungai
Batanghari. Situs ini mempunyai luas 12 km persegi, panjang lebih dari 7
kilometer serta luas sebesar 260 hektar yang membentang searah dengan
jalur sungai. Situs ini berisi 61 candi yang sebagian besar masih berupa
gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas (diokupasi). Dalam kompleks
percandian ini terdapat pula beberapa bangunan berpengaruh agama Hindu.
Di dalam kompleks tersebut tidak hanya terdapat candi tetapi juga
ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam tempat
penammpungan air serta gundukan tanah yang di dalamnya terdapat struktur
bata kuno. Dalam kompleks tersebut minimal terdapat 85 buah menapo yang
saat ini masih dimiliki oleh penduduk setempat. Selain tinggalan yang
berupa bangunan, dalam kompleks tersebut juga ditemukan arca
prajnyaparamita, dwarapala, gajahsimha, umpak batu, lumpang/lesung batu.
Gong perunggu dengan tulisan Cina, mantra Buddhis yang ditulis pada
kertas emas, keramik asing, tembikar, belanga besar dari perunggu, mata
uang Cina, manik-manik, bata-bata bertulis, bergambar dan bertanda,
fragmen pecahan arca batu, batu mulia serta fragmen besi dan perunggu.
Selain candi pada kompleks tersebut juga ditemukan gundukan tanah
(gunung kecil) yang juga buatan manusia. Oleh masyarakat setempat gunung
kecil tersebut disebut sebagai Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.
Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo
menyimpulkan daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu
berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, Republik
Rakyat Cina, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi
agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan
"wajra" pada beberapa candi yang membentuk mandala.