12/07/11

Perbedaan Batik Tulis & Batik Cap

Penulis : Komarudin Kudiya
Perkembangan batik pada masa sekarang cukup menggembirakan, hal ini berdampak positif bagi produsen batik-batik di berbagai daerah. Permintaan batik tulis maupun batik cap sangat tinggi sekali, walaupun kebutuhan pasar batik tersebut sebagian sudah dipenuhi dengan tekstil bermotif batik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan tekstil yang bermodal besar. Beberapa pengrajin batik menghendaki untuk pembayaran di muka agar produksinya bisa lancar dan pembeli akan segera menerima pesanan yang diminta, hal ini mengingatkan pada masa tahun 70-an dimana pada waktu itu batik juga mengalami permintaan yang cukup lumayan jumlahnya.
Perbedaan batik tulis dan batik cap bisa dilihat dari beberapa hal sbb:
Batik Tulis
1. Dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain.
2. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap.
3. Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-balik) khusus bagi batik tulis yang halus.
4. Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan).
5. Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya.
6. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan lamanya.
7. Alat kerja berupa canting harganya relatif lebih murah berkisar Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-/pcs.
8. Harga jual batik tulis relatif lebih mahal, dikarenakan dari sisi kualitas biasanya lebih bagus, mewah dan unik.

Batik Cap
1. Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). Untuk pembuatan satu gagang cap batik dengan dimensi panjang dan lebar : 20 cm X 20 cm dibutuhkan waktu rata-rata 2 minggu.
2. Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis.
3. Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain.
4. Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. Korelasinya yaitu dengan mengejar harga jual yang lebih murah dan waktu produksi yang lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk sehelai kain batik cap berkisar 1 hingga 3 minggu.
5. Untuk membuat batik cap yang beragam motif, maka diperlukan banyak cap. Sementara harga cap batik relatif lebih mahal dari canting. Untuk harga cap batik pada kondisi sekarang dengan ukuran 20 cm X 20 cm berkisar Rp. 350.000,- hingga Rp. 700.000,-/motif. Sehingga dari sisi modal awal batik cap relatif lebih mahal.
6. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas.
7. Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.

Disamping adanya perbedaan dari sisi visual antara batik tulis dan batik cap, namun dari sisi produksi ada beberapa kesamaan yang harus dilalui dalam pengerjaan keduanya. Diantaranya adalah sbb:
* Keduanya sama-sama bisa dikatakan kain batik, dikarenakan dikerjakan dengan menggunakan bahan lilin sebagai media perintang warna.
* Dikerjakan hampir oleh tangan manusia untuk membuat gambar dan proses pengerjaan buka tutup warnanya.
* Bahan yang digunakannya juga sama berupa bahan dasar kain yang berwarna putih, dan tidak harus dibedakan jenis bahan dasar benangnya (katun atau sutra) atau bentuk tenunannya.
* Penggunaan bahan-bahan pewarna serta memproses warnanya sama, tidak ada perbedaan anatara batik tulis dan batik cap.
* Cara menentukan lay-out atau patron dan juga bentuk-bentuk motif boleh sama diantara keduanya. Sehingga ketika keduanya dijahit untuk dibuat busana tidak ada perbedaan bagi perancang busana atau penjahitnya. Yang membedakan hanya kualitas gambarnya saja.
* Cara merawat kain batik (menyimpan, menyuci dan menggunakannya) sama sekali tidak ada perbedaan.
* Untuk membuat keduanya diperlukan gambar awal atau sket dasar untuk memudahkan dan mengetahui bentuk motif yang akan terjadi.
Semoga bagi konsumen pecinta batik tidak akan merasa tertipu lagi dan bisa mengenal lebih jauh perbedaan antara batik tulis dan batik cap. Selamat berbelanja dan bravo batik Indonesia.

Balai Pustaka Berbenah Setelah Satu Abad

Buku merupakan pintu dunia. Melalui buku, kita belajar mengenai banyak hal. Melalui buku pula kita bisa mengetahui dunia lain. Buku pula yang membantu masyarakat Indonesia untuk berpikir lebih cerdas dan bangkit melawan penjajahan. Alhasil pemerintah Belanda menentang keberadaan bacaan baik majalah maupun buku, dan dinilai liar, yang terbit saat itu.
Untuk menahan munculnya bacaan liar tadi, pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat - KBR) pada 1908 yang kemudian menjadi Balai Poestaka. Komisi ini bertugas menerbitkan buku-buku dan majalah yang dianggap baik oleh pemerintah Belanda. Tak disangka, pilihan “buku baik” berupa buku asing yang diterjemahkan, justru membantu rakyat Indonesia menjadi lebih cerdas. Wawasan dan pengetahuan rakyat menjadi lebih luas, apalagi ketika KBR di bawah pimpinan DA Rinkes.

Atas konsep Rinkes-lah maka rakyat Indonesia mengenal perpustakaan di berbagai tempat. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan keputusan No 5 tanggal 13 Oktober 1910 sebagai dasar bagi Rinkes untuk memulai Taman Poestaka – perpustakaan yang hanya dibuka di sekolah-sekolah pribumi di bawah pengawasan guru sekolah. Meski dibuka di sekolah, tetapi masyarakat umum bisa meminjam buku dengan biaya sewa yang murah sedangkan untuk anak-anak sekolah, buku dipinjamkan gratis. Selanjutnya tangsi tentara, rumah sakit, kapal angkatan laut, perumahan, dan lembaga besar lainnya juga dilengkapi dengan perpustakaan.

Dua tahun kemudian sudah ada 700 perpustakaan. Jumlah yang sangat besar untuk saat itu. Enam tahun kemudian, 75 perpustakaan dibuka lagi di daerah yang penduduknya berbahasa Madura dan setahun kemudian dibuka di daerah yang berbahasa Melayu. Hingga tahun 1929 jumlah perpustakaan mencapai 2.525 dengan rincian 725 di daerah berbahasa Melayu, 1.200 di kawasan berbahasa Jawa, 150 di wilayah berbahasa Madura dan 450 di lingkungan berbahasa Sunda. Dari jumlah perpustakaan, bayangkan berapa banyak buku yang dihasilkan Balai Poestaka (Balai Pustaka – BP).

Dalam enam tahun sejak BP lahir, tercatat 1.598 judul buku dalam berbagai bahasa, termasuk Jawa dan Sunda. Namun, sayang sekali, buku-buku yang diterbitkan BP sejak tahun 1908 itu banyak yang hilang dan sudah rusak. Perawatan yang kurang baik dan pendataan yang berantakan menyebabkan sejumlah buku hilang tak jelas rimbanya.
Perawatan buku di BP mulai terbengkalai sejak tahun 1988. Buku dibiarkan tergeletak di dalam rak kayu yang seharusnya disimpan di rak kaca. Banyak majalah lama yang dibuang karena rusak atau dijual karena tidak terurus. Dari pengamatan Warta Kota, perpustakaan BP memang terlihat sudah sangat lama tidak mendapat perhatian yang layak. Ruangan yang lembap, rak buku tanpa pengaturan udara, belum lagi banyak atap yang bocor berakibat udara semakin lembap dan buku rusak terkena air.

Maka tak perlu heran jika kondisi buku kuno semakin rapuh dan sulit untuk dilihat. "Itu masa lalu. Kini kami mulai mengatur kembali BP, tidak hanya perpustakaan tapi juga seluruh manajemen. Selama ini tidak ada staf khusus yang membantu secara teknis perawatan buku maupun sistem perawatannya," tandas Direktur Utama BP, Zaim Uchrowi yang menemui Warta Kota beberapa waktu lalu.

Menurut Dessy Ruslita, kepala perpustakaan BP, divisinya mulai membongkar kembali buku-buku kuno dan mendata ulang. "Banyak sekali buku lama yang sudah rapuh tetapi kami cepat selamatkan dari perpustakaan. Sekarang proses pendataannya mulai berjalan. Kami akan mencatat lagi buku-buku yang sudah rusak dan melihat buku mana yang bisa dipajang nantinya di perpustakaan atau dicetak ulang," jelas Dessy.

Mencari ahli yang bisa membantu proses perawatan buku, yang rusak tapi masih bisa diselamatkan,  juga masuk dalam daftar Zaim sehingga setelah lebih dari seabad silam, BP diharapkan kembali bangkit.  Meski mengaku belum bisa mengatakan biaya perbaikan dan perawatan yang dibutuhkan, Zaim menjanjikan akan memberikan tempat terbaik bagi perpustakaan BP sehingga masyarakat bisa membaca kembali karya-karya fenomenal terbitan BP. Bahkan, dipastikan akan berjejer karya-karya sastra terbitan BP dalam edisi cetakan ulang maupun cetakan lama.

Sumber : kompas.com

Pendiri Batavia Kalah oleh Kolera

Mur Jangkung, begitu ia dijuluki. Entah dari mana nama itu muncul. Bisa karena postur tubuhnya yang jangkung, bisa juga karena namanya yang kental nuansa Belanda dan sulit bagi lidah orang pribumi. Mur Jangkung tak lain adalah Jan Pieterszoon Coen. Peletak dasar kota Batavia yang dimulai dari muara Sungai Ciliwung. JP Coen lahir di Hoorn, Belanda, 8 Januari 1587. Hoorn, salah satu kota di Provinsi Noord Holland tak jauh dari Amsterdam. Di kota ini, patung JP Coen masih berdiri tegak. Tepatnya di lapangan De Roode Steen.
Dalam website www.vocsite.nl disebutkan, Coen magang di sebuah perusahaan di Roma yaitu di kantor Justus Pescatore (Joost de Visser) pada tahun 1601. Di tahun 1607 ia dikirim berlayar ke Hindia Belanda sebagai asisten saudagar yang bekerja pada kompeni di bawah Pieter Willemsz Verhoeff. Dua tahun kemudian, rombongan tiba di Pulau Banda. Di sinilah kompeni mulai membangun benteng namun kemudian pembunuhan terjadi pada awak kapal.
Ia berhasil meyakinkan Heren Zeventien, tentang visinya bahwa VOC bisa menguasai perdagangan di Hindia Belanda. Coen balik ke Belanda, untuk kemudian kembali lagi ke Hindia Belanda pada 1612 di saat pangkatnya opperkoopman, saudagar tinggi. Direktur perdagangan di Banten pun langsung disabet. Coen berpegang bahwa Belanda punya hak untuk mengembangkan perniagaan yang sudah dimulai di Hindia Belanda, pasalnya Belanda lebih dulu berdagang di tempat-tempat orang Spanyol dan Portugis berdagang padahal dua negara itu tak punya hak karena sudah dikalahkan Belanda.
Mimpi Coen menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan di Asia, dari Iran hingga ke Jepang. Manila, Makau, Filipina, berusaha direbut. Visinya membuat para pemimpin VOC di Belanda (Heren Zeventien) pun tergiur. Jadi tak aneh jika Coen menjabat gubernur jenderal hingga dua kali sejak 1619. Junus Nur Arif dalam tulisan “Mur Jangkung Pendiri Batavia” menulis, benteng yang dibangun Coen di muara Sungai Ciliwung semula akan diberi nama Nieuw Hoorn, sesuai dengan kota asal Coen. Di zaman itu Belanda sedang tergila-gila untuk menamakan daerah jajahan sesuai dengan kota-kota di Belanda. Contohnya New Amsterdam (kini New York).
Belum sempat Coen menamai benteng tadi, armada Inggris yang dipimpin Thomas Dale tiba pada 1618 sehingga Coen sibuk mencari bala bantuan hingga ke Banda. Pada saat Belanda terpojok, Pangeran Jayakarta diduga bersekutu dengan Inggris sehingga Sultan Banten itu berhasil menindak Jayakarta. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Coen yang akhirnya bisa merebut Jacatra pada 30 Mei 1619. Nama Batavia sebetulnya bukan keinginan Coen, itu adalah kemauan dewan pimpinan VOC.
Coen, yang kemudian menikahi Eva Ment, lebih suka bekerja sama dengan warga Tionghoa dengan alasan, mereka tak suka berperang dan rajin bekerja. Upaya menarik warga Belanda untuk tinggal di Batavia dan Indonesia pada umumnya tak berhasil, maka ia harus memilih orang untuk membangun Batavia. Orang Tionghoa menjadi salah satu pilihan selain imigran Madagaskar dan Birma.
Rencana besar Coen tak kunjung menunjukkan hasil, malah di akhir masa jabatannya yang pertama (1619-1623), VOC sudah merugi sebesar 8.000 gulden. Segala cara, bahkan menggunakan kekerasan pun diterjang oleh Coen demi cita-citanya. Kisah visi besar Coen pun akhirnya berakhir bersama dengan wafatnya sang gubernur jenderal ke empat dan enam ini. Ia wafat saat masih menjabat sebagai gubernur jenderal keenam, menggeser Pieter de Carpentier, 1627-1629.
Ironisnya, ia tak wafat di medan perang tapi kalah oleh kolera. Junus menyebutkan, pada tahun 1629 Mataram kembali menyerang Batavia. Perempuan yang tinggal di benteng diminta menyingkir. Namun, Ment tak hendak beranjak karena suaminya dalam keadaan kurang sehat. Pada 20 September 1629, malam hari, seusai makam malam, Coen sakit perut hingga duduk pun ia tak mampu. Dokter pun menyatakan, tak ada lagi yang bisa menyelamatkan Coen. Eva Ment pun membawa bayi yang baru berusia tiga hari, berpamitan pada sang suami dan ayah. Coen meninggal tengah malam di usia 42 tahun karena kolera. Ia dimakamkan di halaman gereja (kini Museum Wayang). Eva Ment kemudian kembali ke Belanda bersama Johanna, sang putri, yang tak lama kemudian juga meninggal.
Kondisi Batavia (lama) yang makin buruk, kotor, dengan penyakit yang bertebaran, akhirnya tak hanya mencabut jiwa warga, tetapi juga sang pemimpin. Sekeji apa pun JP Coen, ialah peletak dasar terbentuknya kota Jakarta.

Sumber : kompas.com

Kerajaan Tertua di Indonesia

Kalau ditanya kerajaan tertua di Indonesia, kebanyakan masyarakat indonesia akan menjawab kerajaan Kutai. Anggapan itu bahkan merambah ke buku-buku resmi yang seharusnya didasarkan pada riset dan survey yang serius. Dalam buku-buku sejarah ataupun buku-buku pintar yang banyak beredar di pasaran, Kutai telah dianggap sebagai Kerajaan tertua di Indonesia. [1]
Kerajaan yang bisa disebut Kerajaan Kutai sebenarnya ada dua, Kutai Martadipura dan Kutai Kertanegara. Kutai Martadipura adalah kerajaan hindu yang diperkirakan berdiri sekitar abad ke 4 dan 5. Raja pertamanya adalah  maharaja Kudungga.
Kerajaan Kutai Kertanegara sendiri baru berdiri pada awal abad ke-13.  Kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama ini raja pertamanya, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).  
Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada awal abad ke-16 terjadilah peperangan besar diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Martadipura berakhir saat raja terakhirnya yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa.
Kembali ke pertanyaan awal, sebenarnya kerajaan apa yang layak disebut kerajaan tertua di Indonesia atau Nusantara. Tercatat ada sebuah kerajaan yang memiliki peninggalan tertulis cukup tua, yaitu kerajaan Tarumanegara.
Tarumanagara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah yang sekarang menjadi provinsi Banten, Jawa Barat dan Jakarta pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M.
Bukti-bukti tentang kerajaan ini tersebar luas di daerah banten, tapi sumber utama bukti keberadaan Taruma adalah 7 prasasti yang ditemukan di jawa barat[2].  Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa Kerajaan Tarumanegara dibangun oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman tahun 358 M.
Kebudayaan Tarumanegara sudah tinggi, seperti tercantum dalam prasasti Tugu, yang menjelaskan tentang penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya (tahun 417). Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan raja-raja tarumanegara untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.  Konsep ‘banjir kanal’ yang dianggap pemecahan masalah banjir di jakarta saat ini, ternyata sudah dipikirkan oleh raja-raja Tarumanegara.
Tapi apakah kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan tertua di Indonesia? Pertanyaan itu lagi-lagi tidak bisa langsung disetujui.
Pernahkah dengar Salakanagara? Dalam naskah  Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) dikisahkan bahwa Jayasinghawarman[3] pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII, penguasa Salakanagara. Karena itu dianggap Salakanagara sudah ada sebelum Tarumanagara.
Kerajaan Salakanegara, berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara[4] diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara. Konon, kota ini disebut  Argyre[5] oleh Ptolemeus[6] dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Argyre digambarkan sebagai sebuah kerajaan kota (polis) yang merupakan tempat perdagangan dan pertanian yang makmur.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Raja pertama Salakanagara bernama Dewawarman yang berasal dari India. Ia mula-mula menjadi duta negaranya (India) di Pulau Jawa, kemudian menjadi menantu Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya atau Angling dharma. Istrinya atau anak Aki Tirem bernama Pwahaci Larasati. Saat menjadi raja Salakanagara, Dewawarman I ini dinobatkan dengan nama Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Kalau Salakanagara telah tercatat dalam catatan Ptolomeus tahun 150, bisa diartikan bahwa Salakanagara adalah kerajaan pertama di Nusantara yang bisa dibuktikan melalui peninggalannya. Sayang keberadaannya memang masih diperdebatkan, karena peninggalannya tak ada yang dalam bentuk prasasti. Kebanyakan peninggalannya[7] berupa situs pertanian atau religius. Bagaimanapun, keberadaan kerajaan ini patut dijadikan catatan dalam perjalanan sejarah Indonesia, apalagi jika kita ingin menjawab pertanyaan mengenai kerajaan tertua di Indonesia.

[1] Salah satunya data  di Buku Salasilah Kutai terbitan Bagian Humas Pemerintah Daerah Tingkat II Kutai (1979) yang naskahnya berasal dari buku De Kroniek van Koetei karangan C.A. Mees (1935). Sementara buku C.A. Mees sendiri bersumber dari naskah kuno dalam tulisan huruf Arab karya Tuan Chatib Muhammad Tahir pada 21 Dzulhijjah 1285 Hijriah.
[2]  Tujuh prasasti tersebut adalah: 1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor  2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. 3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman. 4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor. 5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor  6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor . 7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor.
[3] Jayasingawarman adalah seorang Maharesi dari Salankayana ( wilayah otonami di kerajaan kuno ) di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. (berpusat di wilaah Patna, India) Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura (salakanagara) ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan bagian dari Tarumanagara..
[4] Naskah Wangsakerta adalah istilah yang merujuk pada sekumpulan naskah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh "Panitia Wangsakerta". Menurut isi Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa (bagian) V sarga (jilid/naskah) 5 yang berupa daftar pustaka, setidaknya perpustakaan Kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya berupa karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya. Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di Bandung. Dikatakan kontroversial karena beberapa sebab: terlalu historis, isinya tidak umum sebagaimana naskah-naskah sezaman (babad, kidung, tambo, hikayat). cocoknya isi naskah dengan karya-karya sarjana Barat (J.G. de Casparis, N.J. Krom, Eugene Dubois, dsb.), sehingga ada dugaan bahwa naskah ini disusun dengan merujuk pada karya para ahli tersebut. keadaan fisik naskah (kertas/daluang, tinta, bangunan aksara) menunjukkan naskah yang dijadikan rujukan merupakan salinan dan tulisannya kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.
[5] Dalam mitologi Yunani dan Romawi, Argyre adalah pulau mistis yang terbuat dari perak (penghasil perak) dan berada di kawasan timur. Nama itu berasal dari bahasa yunai, argyros (silver). Berdasar penelitian pada tulisan Ptolomeus, diperkirakan yang disebut Argyre adalah kerajaan kuno Salakanegara. Penduduknya kebanyakan bangsa Sunda kuno. (wikipedia.com)
[6] Ptolomeus dari Alexandria, Mesir adalah seorang filsuf yang menaruh perhatian khusus pada astronomi dan geografi. Karya besarnya adalah  Almagest, karya astronomi yang diyakini kebenarannya lebih dari seribu tahun. Ia menyatakan bahwa bumi bulat dan merupakan pusat alam semesta.
[7] Menhir Cihunjuran, Dolmen, Batu Magnit; Batu Dakon, Pemandian Prabu Angling Dharma.

Krakatau

Krakatau adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana yang, karena letusan pada tanggal 26-27 Agustus 1883, kemudian sirna. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa.
Sampai tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.
Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh di masa populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.
Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.
Krakatau juga merupakan salah satu daya tarik utama pariwisata Indonesia selain Bali, Bahkan gitaris asal Swedia, Yngwie Malmsteen menciptakan lagu berjudul Krakatau dan menjadi lagu andalan di albumnya Odyssey yang rilis di Tahun 1988. Band Indonesia juga ada yang bernama Krakatau, dan ada juga perusahaan di Indonesia yang memakai nama Krakatau, dan masih banyak lagi penggunaan nama Krakatau di segala bidang.
Krakatau

krakatau2

Krakatau3

Krakatau4

Krakatau5

Krakatau6

Krakatau7

Krakatau8

Nenek Moyang Komodo

Komodo


Komodo, hewan langka yang hanya ada di Indonesia selama ini menyimpan misteri asal muasalnya.  Selama ini ilmuwan mengira hewan dengan nama latin Varanus komodoensis itu merupakan hasil perkembangan dari nenek moyangnya yang berukuran lebih kecil yang terisolasi di kepulauan Indonesia. Mereka membesar sebagai respon untuk berkompetisi dengan predator lain.
Setelah melakukan penelitian selama tiga tahun belakangan ini, ilmuwan berhasil menggali fosil di Australia timur yang berusia sekitar 300.000-4 juta tahun lalu yang ternyata berasal dari nenek moyang komodo.
Saat kami membandingkan fosil ini dengan tulang komodo masa kini, mereka sangat identikal,” jelas Scott Hocknull, pakar palaentologi vertebrata dari  Queensland Museum di Australia. Selama masa 4 juta tahun lalu, Australia menjadi tempat asal hewan melata terbesar, seperti Megalania dengan panjang 5 meter, yang mulai punah sejak 40.000 tahun lalu. “Kini kita juga tahu bahwa Australia adalah tempat asal muasal komodo,” jelas Hocknull.
Misteri Lain
Mereka mengatakan, nenek moyang komodo mencapai Indonesia, khususnya pulau Flores sejak 900.000 tahun lampau.  Sejak itu sepertinya ukuran tubuh mereka stabil hingga saat ini.
Menurut Hocknull, masih banyak misteri yang mereka belum ketahui mengenai bagian alam Indonesia dan Australia. Dalam beberapa tahun ini banyak penemuan penting di dua wilayah tersebut, termasuk spesies hominid, ‘dunia yang hilang’ di Papua Nugini dimana banyak dijumpa spesies baru, dan kini baru tersibat tentang nenek moyang komodo.
Pertanyaan terbesarnya adalah, kenapa wilayah Asia Tenggara dan Australia merupakan wilayah yang paling banyak dihuni spesies baru dan langka? Misteri lain adalah, mengapa komodo yang di masa lalu sudah punah di Australia bisa bertahan hidup di pulai terisolasi di Indonesia?

Napak Tilas Jalur Kereta Api Tertua di Indonesia

Menelusuri jejak sejarah sebuah kota tentu tak akan lepas dari keberadaan alat transportasi kota itu sendiri. Keberadaan jalur kereta api, misalnya. Di Jawa, jalur kereta api mulai dibangun oleh Nederlandsche-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Maskapai KA Hindia Belanda pada 1864. Keberadaan jalur kereta api di Jawa menjadikan Indonesia sebagai negeri tertua kedua di Asia, setelah India, dalam soal jalur kereta api. Lokasi stasiun pertama di Nusantara memang masih diperdebatkan, antara Samarang dan Kemidjen. Keduanya di Semarang, Jawa Tengah.
Deddy Herlambang dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS)—komunitas pencinta kereta api—menegaskan, setelah melalui penelitian, ditemukan bahwa Samarang adalah stasiun tertua di Indonesia yang menghubungkan Semarang-Tanggung (Samarang-Tangoeng).
Kondisi Stasiun Samarang, yang diresmikan pada 10 Agustus 1867 di area bernama Spoorland atau Tambaksari ini, tak ubahnya kampung padat penduduk. Mbah Lan (81) adalah salah satu saksi sejarah perjalanan bekas stasiun pertama ini. "Ini sudah ndak dipakai sejak 1914. Saya ke sini tahun 1948 sudah jadi rumah-rumah pegawai kereta api," ujarnya.
Yang menakjubkan, menjelajah kampung Spoorland ini, kita akan melihat rangka bangunan yang masih begitu gagah. Meski beberapa bagian sudah dibongkar, tapi kayu jati asli bentang kuda-kuda 8 meter tanpa sambungan, besi penyangga selasar juga masih asli, dan penampang masuknya udara dan sinar di tembok bagian atas masih terlihat. Kemudian, di antara rumah ini pula, terdeteksi bekas peron. Tampak jelas bangunan ini mengalami penurunan. "Kawasan ini tenggelam 2-3 meter," ungkap Deddy.
Penemuan Stasiun Samarang di awal 2009 oleh IRPS ini tentu masih diperdebatkan pihak PT KA. Namun, IRPS tak sembarang memutuskan, mereka bergerak secara ilmiah dengan pendanaan swadaya. Dalam penelusuran tersebut, IRPS beberapa kali menyambangi kawasan Kemijen dan Tambaksari sekaligus menyusur para tetua mantan karyawan kereta api. Namun, hasilnya nihil. Asumsi mereka, jika bangunan telah dibongkar atau tenggelam, fondasinya tentu masih ada.
Akhirnya kami nemu peta kuno, ada koordinatnya. Terus kami analisis pakai (peta) Google. Soalnya, kondisinya kan beda, dari peta kuno dan existing. Kami bawa GPS ke lokasi, kami temukan di kawasan Spoorland. Untuk mengetahui di mana letak bekas stasiun itu, untungnya ada Mbah Lan yang bisa menunjukkan bangunan yang sudah dibuat petak-petak untuk hunian penduduk,” ujar Deddy.
Meski Mbah Lan yang kini berusia sekitar 81 tahun tak tahu-menahu perihal keberadaan Stasiun Samarang sebagai stasiun pertama di Indonesia, IRPS langsung menetapkan bangunan yang kini dihuni warga itu adalah bekas stasiun dari tahun 1867. “Bentuknya memang sudah tidak terlihat, tapi dari foto-foto lama yang kami cari, stasiun ini terlihat megah,” tambah Deddy.
Selain itu, lokasi stasiun ini memang tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Emas. Belanda membangun jalur kereta api dan stasiun tak lain juga sebagai alat transportasi pengiriman barang dari dan ke pelabuhan.
Maka, informasi yang menyatakan bahwa Stasiun Kemidjen adalah stasiun pertama di Indonesia bisa dikatakan tak lagi berlaku. Meski besar kemungkinan pihak PT KA belum mengakui, dari pengalaman Warta Kota berkutat mencari referensi tentang stasiun pertama di Indonesia, Stasiun Kemidjen, tak ditemukan. Hampir semua buku, dalam referensi Belanda maupun Inggris, menyebutkan bahwa Stasiun Samarang sebagai stasiun yang menghubungkan Samarang-Tangoeng (Semarang-Tanggung) yang mulai beroperasi pada 10 Agustus 1867. Nama Stasiun Kemidjen sulit ditemukan.
Jika memang temuan IRPS ini masih meragukan di mata penguasa atau pihak lain yang terkait dengan keberdaan jalur kereta api, tentu ada baiknya penelitian lebih mendalam segera digelar. Dengan begitu, warga tak lagi dibikin bingung antara Samarang dan Kemidjen.
Batavia Noord
Setelah bicara soal Samarang, lantas bagaimana dengan Batavia? Kapan dan di mana stasiun pertama di Batavia? Dalam beberapa referensi tertulis, NIS membangun Batavia Noord (Batavia Utara), jalur kereta api pertama yang melayani jalur Klein Boom dari sekitaran Sunda Kelapa-Gambir (Koningsplein), pada 1871.
Jalur Batavia-Buitenzorg (Bogor) dimulai 1873. Lokasi Batavia Noord ada di belakang Museum Sejarah Jakarta (MSJ) kini. Tentu, sudah tak berbekas. Nama Beos berasal dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (Maskapai KA Batavia Timur). Namun, ada pula yang mengaitkan Beos dengan Batavia En Omstreken (Batavia dan sekitarnya).
Batavia Zuid (Batavia Selatan) muncul tak lama kemudian, masih oleh NIS, sebelum akhirnya dijual kepada perusahaan kereta api negara atau Staatssporwegen (SS) pada periode akhir abad ke-19. Jalur Batavia-Buitenzorg menyusul kemudian dibeli SS. Stasiun Batavia Zuid ini kemudian dibangun kembali pada tahun 1926 oleh FJL Ghijsels menjadi Stasiun Jakarta Kota, seperti yang sekarang ini ada.

Sumber : kompas.com

Pasar Gambir Puluhan Tahun Lalu

Orang kini mengenal Gambir lebih sebagai stasiun kereta api. Padahal nama Gambir lebih dulu dikenal sebagai semacam pekan raya atau pasar malam besar atau ada juga yang menyebut bazaar untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada 31 Agustus. Pasar yang untuk pertama kali mengambil lokasi di Lapangan Gambir pada 1906 itu lantas menjadi beken dengan nama Pasar Gambir.
Pasar Gambir 3
Pasar Gambir 2
Pasar Gambir 1
Pasar Gambir yang semula hanya berlangsung sepekan, di pekan terakhir Agustus, kemudian bertambah menjadi dua pekan - akhir Agustus hingga awal September. Maka di pekan-pekan sekaranglah, sekian puluh tahun silam, Lapangan Gambir dipenuhi warga. Pasar Gambir ini sejak 1921 berlangsung tiap tahun.

Sementara itu asal usul nama Gambir, yang sudah ada sejak tahun 1800-an,  ada dua versi. Ada versi yang menyebut nama Gambir muncul karena kawasan itu dulunya ditumbuhi pohon gambir. Sedangkan Ridwan Saidi, budayawan Betawi, tahun 1997 pernah menulis tentang Profil Orang Betawi yang di dalamnya menegaskan, Gambir berasal dari nama Letnan Belanda berdarah Perancis, Gambier.

Letnan inilah yang kemudian ditugaskan Daendels untuk membuka jalan meluaskan Batavia hingga ke selatan. Maka Gambier pun harus menerabas hutan di kawasan yang kemudian oleh Belanda diberi nama Koningsplein itu (kini Monas). Namun orang pribumi lebih akrab dengan nama sang letnan, Gambier yang kemudian menjadi Gambir. 
Di pasar itu bertebaran restoran, tempat minum bir, es krim, ruang dansa, tak ketinggalan berbagai kerajinan baik dari Jawa maupun dari Eropa. Salah satu kedai es yang sejak awal 1930-an sudah ikut meramaikan Pasar Gambir dan hingga kini masih bertahan tak lain adalah Es Krim Ragusa. 

Di masa kini, tak ada lagi keriaan Pasar Gambir. Pasar jenis ini berubah menjadi Pekan Raya Jakarta dan mengambil lokasi di Kemayoran.

"
Pasar Gambir, kota Betawi/Ai kota Betawi/Ai indung disayang/ Sampai di Gambir noni/Sampai di Gambir nona/Membeli pala/Buah pala di pinggir kali/Yang baju merah nona/Manis sekali..." Sayup-sayup suara almarhum Chrisye mendendangkan lagu Kr Pasar Gambir karya Ismail Marzuki.

Sumber : kompas.com

Yang Tersisa dari Toko Buku Pertama di Batavia

Toko Buku Toko Buku 2

Kalibesar di abad silam riuh dengan berbagai kegiatan ekonomi. Sebagai kawasan yang dibelah kanal dan dekat dengan pelabuhan, maka wajar saja demikian. Pasar pun bertumbuhan. Sebut saja pasar unggas, pasar bambu, dan pasar pisang. Yang disebut belakangan ini menjadi nama lain dari sebuah kawasan, yaitu Kalibesar Timur.
Mengapa disebut pasar pisang, belum ada buku yang mengisahkan tentang itu. Tapi bisa jadi karena di seputaran Jalan Cengkeh (kini) yang letaknya dekat dari Jalan Kalibesar Timur itu terdapat pasar buah, salah satunya pisang.

Kali ini bukan pasar pisang yang ingin dibahas, tapi soal keberadaan toko buku pertama di Batavia. Di ujung Jalan Kalibesar Timur 3 dan Kalibesar Timur (di seberang Jalan Cengkeh), masih berdiri bangunan tua. Kira-kira letaknya ada di  pojok kiri kalau kita melihat dari Jembatan Middelpunts ke arah selatan. Jembatan ini menghubungkan Jalan Kunir, Jalan Kalibesar Timur 3, Kalibesar Timur, Jalan Kalibesar Barat, Jalan Kopi, dan Jalan Roa Malaka.

Toko buku di bawah nama G Kolff & Co ini sudah mulai menjadi toko buku pada tahun 1848 di Buiten Nieuwpoort Straat (Jalan Pintu Besar Selatan). Sebetulnya, Kolff datang belakangan karena pemilik perusahaan ini semula bernama Willem van Haren Noman. Tahun 1850, Gualtherus Johannes Cornelis Kolff tiba dari Holland dan bergabung dengan Noman. Tahun 1858, Noman kembali ke Belanda, maka selanjutnya Kolff sendirilah yang menjadi pemegang perusahaan.

Di tahun 1860, perusahaan percetakan dan penerbitan buku ini membeli tanah di lokasi yang sekarang karena dinilai lebih menguntungkan, seharga 28.000 gulden. Di sinilah kantor pusat perusahaan G Kolff & Co berada hingga 1921 ketika Kolff membeli tempat yang lebih luas di Jalan Pecenongan. Toko buku milik Kolff juga sudah ada di Noordwijk (Jalan Juanda) sejak 1894.

Kolff juga menjadi penyokong koran beken di masanya, 1850-an,
Java Bode  yang berafiliasi dengan koran De Locomotief (Semarang) dan Het Soerabaiasche Handelsblad (Surabaya). Di tahun 1885, Kolff bahkan membidani terbitnya koran yang lebih dari 50 tahun menemani warga di Batavia, Bataviaasch Nieuwsblad.

Tahun 1930, perusahaan ini makin berkibar ketika Ratu Belanda memberikan hak pada Kolff untuk menggunakan kata Koninklijke sehingga nama perusahaan itu menjadi NV Koninklijke Boekhandel en Drukkerij G Kolff & Co. Perusahaan ini menjadi penyedia buku-buku pendidikan terbesar di Hindia Belanda. Perusahaan ini bertahan hingga lebih dari satu abad, kini sudah tak ada lagi.

Membahas kisah-kisah sejarah Batavia di abad ke-19 khusus soal perusahaan penerbitan terbesar yang ditulis Scott Merrillees, seorang rekan, berkomentar, "G Kolff & Co itu sama seperti Kompas Gramedia-lah, kalau sekarang ini," ujarnya.

Sumber : kompas.com

Lika-liku Jalur KA Batavia-Bandoeng

Penelusuran tentang perkembangan dan kematian jalur kereta api Jakarta-Bandung bisa dilihat pula dalam buku Het Indische Spoor in Oorlogstijd bikinan Jan de Bruin. Dalam buku itu terpampang peta-peta yang menunjukkan perkembangan jalur kereta api di Jawa dan Madura. Tahun 1888, tampak jalur kereta api dari Batavia-Tjitjalengka. Di situ tampak pula jalur di ujung utara Jakarta, yaitu Tanjungpriok dan juga jalur Batavia-Bekasi.
Sebelas tahun kemudian, jalur kereta api itu sudah bertambah lagi, yaitu Batavia-Tangerang, Batavia-Rangkasbitoeng, Batavia-Krawang, di antara Buitenzorg (Bogor) dan Padalarang (sebelum masuk Bandung), ada penambahan Tjandjoer. Jalur yang semula berhenti di Tjitjalengka berlanjut ke Tjibatoe hingga Garoet bahkan akhirnya menghubungkan Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Tahun 1888, jalur Batavia berhenti di Tjitjalengka, sedangkan di Jawa Tengah, bermula dari Samarang (Semarang), berhenti hingga Tjilatjap.
  
Peta tersebut juga menunjukkan batas-batas jalur kereta api berdasarkan periode perusahaan kereta api yang membangun. Di jalur kereta api Batavia-Buitenzorg tertulis NIS alias Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij. Perusahaan kereta api swasta ini mulai membangun jalur Batavia-Buitenzorg pada 15 Oktober 1869. Perusahaan ini pula yang pertama kali membangun jalur kereta api di Semarang.

Sekadar catatan, pembangunan jalur kereta api memang tidak dimulai dari Batavia, tetapi dari Jawa Tengah, yang justru bukan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Alasannya adalah, jalur kereta api diperlukan untuk mengangkut hasil bumi, seperti kayu, tembakau, kopi, dan gula.

Alasan lain adalah karena ada usul agar pembangunan jalur rel Batavia-Buitenzorg dilakukan oleh pemerintah, bukan swasta. Namun karena keuangan negara belum kuat, usul itu ditolak. Dalam buku
Sejarah Perkeretaapian Indonesia jilid I disebutkan, Gubernur Jenderal Rochussen yang mengusulkan agar pemerintah membangun jalur tersebut.

Usul itu disampaikan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda pada 1846. Rochussen mempertimbangkan bahwa jalur Batavia-Buitenzorg juga merupakan jalur pengangkut hasil kopi dan teh selain juga sebagai pusat pemerintahan kolonial.

Dari hasil penelitian tim Kerajaan Belanda, jalur Batavia-Buitenzorg terbilang rawan, khususnya rawan terhadap perlawanan dari para tuan tanah. Akhirnya jalur itu terealisasi pada 1869 dan memerlukan waktu selama empat tahun untuk menyelesaikan jalur sepanjang 58.506 m (sekitar 58 km).

Namun, jalur tersebut juga kemudian menjadi batu loncatan untuk melanjutkan jalur kereta api hingga ke tanah Parahyangan karena di kawasan itu lebih memerlukan alat pengangkut hasil bumi berupa kina, kopi, dan teh.
  
Kembali ke NIS atau NISM yang kemudian menyerah pada masalah keuangan, dan pembangunan diambil alih oleh Staatsspoorwegen (SS) atau Perusahaan Kereta Api Negara, jalur Buitenzorg ke Parahyangan dibangun oleh SS. Pembangunan prasarana kereta api berupa jembatan dan terowongan di jalur ini sudah menggunakan teknologi maju pada masa itu. Alam Parahyangan yang berupa pegunungan dan lembah nan curam itulah yang memaksa Belanda menerapkan teknologi canggih.
  
Jaringan rel kereta api milik SS di Pulau Jawa dibagi dua
lijn atau jalur barat dan timur. Lijn barat membentang dari Bogor-Yogyakarta. Jalur barat milik SS ditandai dengan pembukaan jalur Buitenzorg-Tjitjoeroeg pada 1881. Secara total, lintas Buitenzorg-Bandoeng-Tjitjalengka dibuka SS pada 10 September 1884, sementara lintas Tjitjalengka-Garoet pada 1886, dan Tjitjalengka-Tjilatjap pada 1894.

Pada tahun 1900, SS juga membeli lintas Batavia-Krawang sepanjang 63 km yang selesai dibangun pada 1898 oleh perusahaan swasta bernama Bataviasche Ooster-Spoorweg Maatschappiji (BOS).

Pada akhir 1900, Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan, jalur rel Krawang menuju Tjikampek ke Padalarang di lintasan Buitenzorg-Bandoeng-Djokdja bisa dibangun. Jalur rel sepanjang hampir 100 km itu setengahnya harus menembus pegunungan karena melintas di kawasan Parahyangan. Jalur itu kelar pada 1906. 

Sumber : kompas.com

Asal Muasal Nama Tempat di Jabotabek Bag.6

Rawa Badak
Merupakan penyebutan daerah atau kampung yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta Utara. Asal – usul nama Rawa Badak berasal dari penyebutan tempat yang merupakan rawa – rawa yang sangat besar. Daerah ini pada masa lalu merupakan rawa – rawa yang luas, kemudian oleh para pendatang rawa ini diuruk sehingga tanah di daerah ini kering dan layak dihuni.
Rawa Badak berasal dari dua kata yang digabung. Rawa berarti tempat yang selalu basah karena banyak air dan badak berasal dari bahasa Sunda atau Jawa yang berarti besar atau luas. Maka bagi orang Sunda atau orang jawa daerah ini disebut dengan Rawa Badak yang artinya rawa yang luas.
Roa Malaka
Kawasan Rowamalaka, atau Ruamalaka, dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Roamalaka, termasuk wilayah Kecamatan Tambora, Kotamadya Jakarta Barat.
Mengenai asal nama kawasan itu ada dua pendapat. Pertama berasal dari kata rawa dan malaka” sebuah rawa dengan pohon malaka” (Garicinia cornea L. termasuk keluarga Clusiaceae), yang buahnya dapat dimakan. Hal itu masuk akal, karena kawasan tersebut jaman dahulu memang berawa – rawa, sedang pohon malaka dapat tumbuh di dataran rendah.
Keterangan lain menyatakan, bahwa kawasan tersebut dikenal dengan nama Roa – Malaka, karena pernah dijadikan tempat pemukiman orang – orang Portugis yang ditawan di Malaka, setelah kota tersebut pada tamggal 1 Januari 1641 direbut oleh Belanda dari orang – orang Portugis yang menguasainya selama 130 tahun. Sebagian besar orang – orang Portugis yang ditawan ditempatkan di Nagapatman, pantai barat India. Sebagian lagi ditempatkan di Batavia (De Haan 1935:83). Golongan atas dari tawanan perang itu, termasuk mantan Gubernur Malaka Dom Luiz Martin de Chichorro, ditempatkan di Jonkersgracht, yang pada jaman itu terbilang daerah pemukiman elit (J.R. van Diessen 1989:191).
Jonkersgracht kemudian dikenal dengan sebutan Rua Malaka atau Jalan Malaka Rua Malaka lambat – laun berubah pengucapannya, menjadi Roa Malaka. Pada masa pemerintahan Van Der Cappellen (1816 – 1826), Jonkersgratch diuruk (De Haan 1935:205), mungkin karena proses pendangkalannya makin cepat sehingga menimbulkan genangan – genangan air yang menjadi sumber penyakit (De Haan 1935:205).
Salemba
Salemba adalah kawasan antara Jalan Kramat Raya dan Jalan Matraman Raya . Dikawasan Salemba terdapat beberapa nama tempat yang diawali Salemba, seperti salemba Bluntas, Salemba Tengah, Salemba Utankayu, dan Salemba Tanah Padri.
Pada peta abad kesembilanbelas dan peta awal abad ke-20 kawasan Salemba bernama Struyswijk, yang dapat diartikan “kawasan Struys” karena tuan tanah pertamanya, adalah Abraham Struys, seorang mantan pejabat pada Kompeni yang kaya raya. Tanah itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Anna Struys yang menikah dengan Joan van Hoorn, seorang pejabat tinggi Kompeni di Batavia.
Menurut Resolusi tertanggal 22 Oktober 1699 kawasan struyswijk menjadi milik Joan van Hoorn, yang menjual sebagian daripadanya.Kepada Domine Kiezenga seharga 5000 Ringgit, termasuk 330 ekor sapid an sejumlah perlengkapan rumah tangga. Bagian yang dibeli Domine tersebut kemudian dikenali dengan sebutan Tanah Padri(De Haan 1910:6,7,13) yang masih tercantum sebagai nama tempat pada peta 1911 yang ditebitkan oleh Topograpisch Inrichting Batavia, Lembar I.IV.
Sampur
Merupakan nama tempat obyek wisata atau tempat melancong masa lalu yang terletak dipiggir pantai sehingga sering disebut dengan pantai sampur. Nama ini berasal dari kata yang diberikan oleh orang Belanda untuk tempat peristirahatan dipinggir pantai zandpoort. Oleh masyarakat pribumi istilah ini dibaca dengan sampur. Untuk masa sekarang kata sampur hampir hilang dari peta kota Jakarta, karena pantai ini telah dikembangkan untuk perluasan pelabuhan peti kemas Tanjung Priuk. Pada masa lalu, pantai sampur ini merupakan obyek wisata pantai yang paling terkenal di Batavia.
Pantai sampur disukai oleh noni – noni dan sinyo – sinyo (sebutan untuk muda – mudi orang Belanda) dan begitu juga masyarakat pribumi, banyak yang berkunjung ke pantai sampur ini. Sebelum pantai Ancol dikembangkan sebagai obyek wisata pantai yang disebut dengan Pantai Bina Ria Ancol, pantai sampur merupakan obyek wisata pilihan utama diteluk Jakarta.
Senayan
Kawasan senayan mulai banyak dikenal sejak di sana didirikan sebuah gelanggang olah raga yang bertaraf internasional dengan nama Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno, yang dibangun awal tahun enampuluhan atas bantuan Pemerintahan Uni Sovyet pada jaman Perdana Menteri Nikita Sergeiwitsj Kruschev. Senayan semakin banyak disebut – sebut setelah dibangun Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Pada peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau, Batavia, tahun 1902 kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut EYD. Kata wangsanayan dapat berarti “tanah tempat tinggal atau tanah milik seseorang yang bernama Wangsanaya”. Wangsanayan lambat – laun berubah, menjadi lebih singkat, Senayan.
Tidak mustahil, Wangsanayan tersebut adalah yang dimaksud oleh De Haan, sebagai salah seorang asal Bali, berpangkat Letnan, sekitar tahun 1680 (De Haan 1911:174). Belum ditemukan keterangan lebih lanjut dari tokoh tersebut, demikian pula tentang sejarah yang berkaitan dengan kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Senayan itu.
Senen
Kawasan Senen dewasa ini menjadi sebuah Kecamatan, Kecamatan Senen, wilayah Kotamadya Jakarta Pusat.
Nama diambil dari sebutan terhadap pasar yang dibangun oleh Justinus Vinck, di ujung sebelah selatan jalan Gunung Sa(ha)ri, yang dulu bernama Grote Zuiderweg. Di kalangan orang – orang Belanda, pasar tersebut dikenal dengan sebutan Vinckpasser (pasar Vinck). Tetapi karena hari pasarnya pada awalnya ditetapkan hanya hari Senin, lalu disebut Pasar Senen. Berkat kemajuan dan semakin ramainya pasar itu, maka sejak tahun 1766 dibuka pada hari – hari lainnya.
Di sebelah timur pasar terdapat rumah – rumah orang China. Di belakangnya mengalir terusan yang dinamai Kali Baru. Terusan itu dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743 – 1750).
Pada awalnya Pasar Senen hanya terdiri atas gubuk – gubuk. Sampai tahun 1815 di sana masih terdapat rumah – rumah dari gedek. Walaupun sudah ada rumah petak dari kayu, tetapi belum ada satu pun rumah tembok. Menurut catatan, pada tanggal 9 Juli 1826, sebagian besar dari bangunan – bangunan pasar itu terbakar. Mungkin sesudah terjadinya kebakaran itu baru mulai dibangun bangunan – bangunan dari tembok
Srengseng Sawah
Srengseng Sawah dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan di wilayah Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Sampai tahun tigalpuluhan abad ke-20 kawasan Srengseng menjadi bagian dari wilayah Distrik (Kewedanaan) Kebayoran, Kabupaten Meestercornelis.
Dahulu kawasan tersebut biasa disebut Srengseng saja, tanpa kata sawah. Orang Belanda VOC menyebutnya Sringsing. Mungkin karena di situ banyak dibuka persawahan, maka kemudian disebut Srengsengsawah. Atau, mungkin juga untuk membedakannya dengan Srengseng di Jakarta Barat, yang sekarang menjadi nama kelurahan di wilayah Kecamatan Kebonjeruk.
Srengseng diambil dari nama semacam pandan berdaun lebar, pinggirnyaberduri – duri, Pandanus caricosus Ramph, termasuk famili Pandaneseae. Daunnya bisa dianyam dijadikan tikar atau topi kasar (Fillt 1883, 264). Sampai meletusnya Perang Dunia Kedua produksi tikar dan topi pandan dari Distrik Kebayoran mempunyai nilai ekonomi yang cukup berarti, dapat dipasarkan kedaerah – daerah lain, bahkan ke luar Pulau Jawa ( Tideman 1932:19). Sampai tahun tujuh puluhan abad ke-20 ,Masih banyak penduduk asli Srengseng Sawah dan sekitarnya yang membuat tikar dan topi pandan sebagai usaha sampingan.
Pada tahun 1674 kawasan Srengseng tercatat sebagai milik Karim, anak seorang bekas Kapten Jawa, bernama Citragladak. Kemudian jatuh ke tangan Cornelis Chalestein, tuan tanah kaya rayayang antara lain memiliki tanah partikelir Depok. Di Srengseng ia mempunyai sebuah rumah peristirahatan. (De Haan 1935:340).
Sunda Kelapa
Merupakan sebutan pelabuhan tradisional yang ada di teluk Jakarta. Sebenarnya nama ini awalnya adalah Kelapa. Hal ini dapat di buktikan dengan berita yang terdapat dalm tulisan hasil perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang disebut dengan Suma Oriental.
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini dubawah kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian pelabuhan ini disebut dengan Sunda Kelapa.
Tambora
Kawasan Tambora dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Tambora, termasuk wilayah Kecamatan yang sama Kotamadya Jakarta Barat.
Nama Tambora dari kawasan ini mungkin diberikan oleh orang –orang yang berasal dari Pulau Sumbawa, yang pada tahun 1755 diberitakan dipimpin oleh seorang Kapten. Mungkin komunikasi mereka, yang jumlahnya tidak begitu banyak, kurang mendapat perhatian, kalau saja tidak muncul seorang tokoh yang menimbulkan kekaguman orang – orang Belanda, yaitu Kapten Abdullah Saban. Karena menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa, terutama dalam pertempuran di laut, Pada tahun 1794 dia diangkat menjadi Kepala Kepulauan Seribu (Hoofd over Duizend Eilanden). Pada tahun 1800 ia dianugerahi pedang kehormatan. Pada tahun 1808 oleh Daendels diangkat menjadi Liutenant van de eerste classe bij de Hollandshe Koninglijke Marin (De Haan 1935:375).
Tokoh lain yang perlu dicatat, adalah Haji Mustoyib Ki Daeng yang berjasa membangun Masjid Tambora. Ia adalah orang China muslim, asal Makasar, pernah tinggal beberapa lama di Bima, di kaki Gunung Tambora, Sumbawa. Karena suatu sebab, mungkin dituduh menghasut warga setempat untuk melawan penguasa, pada tahun 1755 ia dihukum penjara di Batavia, selama 5 tahun. Setelah bebas ia berniat akan tetap tinggal di Batavia. Sebagai tanda syukur kepada Yang Maha Kuasa, pada tahun 1761 ia membangun sebuah masjid. Untuk mengenang tempat ia ditangkap penguasa, masjid yang dibangunnya itu diberi nama Masjid Tambora (J.R van Diesen 1989:206).
Masjid yang dibangun Mustoyib itu merupakan inti dari keadaannya dewasa ini. Bagiannya yang terletak dipinggir sungai masih menunjukkan bentuk asalnya. Setelah mengalami beberapa kali perbaikan, pada tahun 1980 masjid itu diperbaiki lagi serta diperluas.
Haji Mustoyib dimakamkan di halaman masjid tersebut. Makamnya yang dinaungi bangunan bertiang tembok enam buah, sampai dewasa ini masih terpelihara dengan baik.
Tanah Abang
Kawasan Tanah abang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tanah Abang, Kotamadya Jakarta Pusat.
Menurut Tota M. Tobing (intisari, Agustus 1985), ada anggapan, bahwa namaTanah Abang diberikan oleh orang – orang Mataram yang berkubu di situ dalam rangka penyerbuan Kota Batavia tahun 1628. Pasukan tentara Mataram tidak hanya datang melalui laut di utara, melainkan juga melalui darat dari selatan. Ada kemungkinan pasukan tentara Mataram itulah yang memberi nama Tanah Abang, karena tanahnya berwarna merah, atau abang menurut bahasa Jawa.
Kemungkinan lain adalah bahwa nama itu diberikan oleh orang – orang (Jawa) Banten yang bekerja pada Phoa Bingham, atau Bingam, waktu membuka hutan di kawasan tersebut. Konsesinya diperoleh Bingam, Kapten golongan China, pada tahun 1650 (De Haan, II: 413). Mungkin karena pernah bermukim di Banten sebelum hijrah ke Batavia, seperti Benkon, pendahulunya, Bingam pun akrab dengan orang – orang Banten. Benkon pernah membebaskan wangsa, seorang asal Banten,dari tahanan Kompeni dengan uang jaminan sebesar 100 real, pada tahun 1633 (Hoetink dalam Bijdragen 79, 1923:4).
Tanah Merdeka
Merupakan penyebutan wilayah yang cukup luas di Jakarta Timur Lokasinya sekarang terbentang, antara jalan Raya Bogor, Kelurahan Dukuh, jalan tol T.B Simatupang dan terus ke Selatan kelurahan Rambutan dan kelurahan Ceger. Sekarang yang tersisa adalah nama jalan yang ada dikelurahan Rambutan. Penyebutan nama Tanah Merdeka berasal dari masa penjajahan VOC berkuasa di Batavia. Pada waktu itu bagi tokoh yang berjasa membantu VOC akan diberi lahan tanah di pinggiran Kota Batavia dan tidak dipungut pajak. Mereka yang diberi tanah itu harus mampu menjaga keamanan dan harus membantu VOC dalam segala hal. Tanah yang diberikan kepada orang yang berjasa bagi VOC itu disebut Tanah Merdeka.
Tiang Bendera
Kawasan Tiang Bendera terletak di wilayah Kelurahan Roamalaka, Kecamatan Tambora, Kecamatan Jakarta Barat. Kantor Kelurahannya sendiri, dewasa ini terletak di Jalan Tiang Bendera Utara No.90A.
Nama Tiang Bendera berasal dari tiang bendera yang sehari – hari terpancang di depan rumah Kapten China pada pertengahan abad kedelapanbelas, setelah selesainya pemberontakan China, tahun 1740.setiap tanggal 1 penanggalan Masehi, mulai tahun 1743, pada tiang bendera itu dikibarkan bendera, untuk mengingatkan warga Tionghoa untuk membayar pajak kepala, sewaan rumah dan sebagainya. Menurut F. De Haan, dikalangan orang –orang China di Batavia, tanggal 1 setiap bulan penanggalan Masehi biasa disebut “dag der vlaghijsching”, hari pengibaran bendera.
Demikianlah maka kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Kampung Tiang Bendera(sic).
Rumah tempat tinggal Kapten China (tidak jelas siapa namanya itu awalnya bukanlah rumah dinas, melainkan rumah milik pribadi, yang dibelinya dari Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1743. Pada tahun 1747, setelah kapten itu meninggal, rumah tersebut dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan, dan dijadikan rumah dinas Kapten China. Mulai tahun 1805 dirumah itu biasa diselenggarakan rapat – rapat Dewan China. Dewan tersebut kemudian menempati bangunan tua Belanda di Jalan Tongkongan.
Tugu
Kawasan Tugu dewasa ini dibagi menjadi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Tugu Selatan dan Tugu Utara, termasuk wilayah Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara.
Tugu berupa prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara diperkirakan dibuat pada abad kelima Masehi, ditemukan dikampung Batutumbuh, dijadikan sebutan bagi kawasan tersebut. Prasasti tersebut memberitakan tentang dibuatnya saluran air sepanjang 6122 busur, atau kurang lebih 11 Kilometer, dalam waktu 21 Hari. Hal itu membuktikan bahwa 16 abad yang lalu saluran air di pantai utara kawasan Jakarta dan sekitarnya sudah diperlukan, untuk mengatur pengairan, baik untuk penanggulangan bahaya banjir atau pun untuk pertanian.
Tugu mulai disebut – sebut pada tahun 1661 yaitu tahun ditempatkannya 23 orang Kristen asal Benggala dan Koromandel. Lima belas tahun kemudian. Jumlahnya meningkat menjadi 40 atau 50 keluarga dan ditempatkan seorang guru di sana. Setengah abad kemudian, 1735, dibangunlah sebuah gereja dari tembok, yang pada tahun 1740 dibakar oleh orang – orang China yang memberontak. Pada tahun 1744 dibangun lagi gereja baru atas biaya seorang pejabat VOC Justinus Vinck.
Prasastinya sendiri, yang berbentuk bulat hampir menyerupai kerucut, sehingga baris – baris hurufnya dituliskan melingkar, sebanyak 5 baris berhuruf Palawa, dewasa ini disimpan di Museum Nasional Replikanya dapat disaksikan di Museum Sejarah Jakarta, di Taman Fatahillah.
Selesai

Asal Muasal Nama Tempat di Jabotabek Bag.5

Pasar Boplo
Merupakan nama pasar yang terletak di lokasi pemukiman elit Menteng Jakarrta Pusat. Nama pasar ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda bouwploeg yang berarti tempat menjual alat bajak untuk mengolah pertanian. Pada masa lalu pasar ini tempat menjual alat – alat pertanian dan yang paling banyak dijual adalah alat bajak untuk mengolah sawah.
Kata boplo mungkin juga berasal dari sebutan kantor jawatan Pekerjaan Umum masa pemerintahan Belanda yang berada di dekat lokasi pasar. Kantor jawatan pekerjaan umum itu bernama jawatan Bouwploeg yang sekarang kantor itu berubah fungsi menjadi mesjid Cut Mutia
Pasar Genjing
Merupakan sebutan nama sebuah pasar kecil yang sekarang terletak di persimpangan jalan Pramuka dan jalan Utan Kayu di Jakarta Timur. Nama genjing berasal dari sebutan pohon besar yang ada dilokasi pasar.
Bagi masyarakat yang berasal dari Jawa, pohon ini disebut dengan pohon sengon. Sedangkan bagi masyarakat dari suku Sunda pohon ini disebut pohon jeungjing.
Karena sulit menyebut nama pohon ini dengan sebutan dari suku Sunda, maka masyarakat Betawi menyebutnya dengan sebutan genjing.
Pejagalan
Merupakan nama kampung dan sekarang diabadikan menjadi nama jalan Pejagalan di Kelurahan Pekojan, Jakarta Barat. Nama Pejagalan berasal dari kata jagal atau pemotongan hewan. Pada masa lalu di kampung Pejagalan banyak tinggal orang keturunan Arab dan Pakistan. Mereka senang memasak nasi kebuli yang bahan bakunya adalah beras dan daging kambing karena banyak dan seringnya memotong hewan kambing, maka daerah ini disebut dengan kampung Pejagalan.
Petojo
Kawasan Petojo dewasa ini meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Petojo Utara dan Kelurahan Petojo Selatan, termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta Pusat.
Petojo berasal dari nama seorang pemimpin orang – orang Bugis yang pada tahun 1663 diberi hak pakai kawasan tersebut, bernama Aru Petuju.
Perubahan dari petuju menjadi petojo, tampaknya lazim di Batavia pada waktu itu, seperti halnya kata pancuran, kemudian diucapkan jadi pancoran.
Beberapa tahun sebelum bermukim di kawasan yang terletak di sebelah barat Kali Krukut itu, Aru (Arung) Petuju bersama dengan Pangeran dari Bone Aru (Arung) Palaka, menyingkir ke Batavia, setelah gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa, yang telah lama dilakukannya. Dengan demikian terjalinlah kerjasama antara Aru(ng) palaka dengan Belanda dalam menghadapi Sultan Hasanuddin. Kerjasama antara dua kekuatan itu berhasil mengakhiri kekuatan Gowa atas Bone. Sultan Hasanuddin terpaksa harus menerima kenyataan, bahwa Belanda akan memegang, monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan. (Poesponegoro 1984 (IV):208).
Sebagaimana umumnya tanah – tanah yang semula dikuasai oleh sekelompok orang dibawah pemimpin masing – masing, kawasan Petojo juga kemudian beralih tangan. Pada tahun 1816 kawasan Petojo sudah dimiliki oleh willem Wardenaar, di samping tanah – tanah di daerah – daerah lainnya, seperti Kampung Duri dan Kebon Jeruk yang pada waktu itu biasa disebut Vredelust (De Haan 1910:101).
Penjaringan
Merupakan nama kampung dan sekaligus nama Kelurahan dan nama Kecamatan yang terletak disebelah Utara Pelabuhan Sunda Kelapa. Nama ini berasal dari sebutan tempat yang banyak memproduksi jarring untuk keperluan para nelayan teluk Jakarta.
Cerita lain ada juga yang menyebutkan bahwa nama penjaringan berasal dari tempat yang banyak terdapat jaring - jaring nelayan yang sering di jemur atau jaring yang sedang diperbaiki oleh nelayan. Melihat lokasi ini dekat dengan pantai, maka dua cerita tersebut bias saja menjadi asal – usul kata Penjaringan. Karena luasnya wilayah yang mencakup daerah penjaringan, maka sekarang kita mengenal kecamatan yang bernama Kecamatan Penjaringan.
Petamburan
Merupakan salah satu nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Pada masa lalu rumah penduduk masih jarang dan masih banyak tumbuh pohon jati disekitar daerah ini. Pada suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai cikal bakal nama tempat ini. Peristiwa itu adalah meninggalnya seorang penabuh tambur didaerah ini dan dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga nama kampung ini sebenarnya adalah Jati Petamburan.
Pejambon
Pejambon merupakan sebutan kampung yang bersebelahan dengan kampung Gambir. Kampung ini baru ada sejak Daendels membuka daerah ini dengan sebutan kawasan Weltevreden. Kata Pejambon berasal dari singkatan Penjaga Ambon. Penjagaan tersebut berada disebuah jembatan yang melintasi kali Ciliwung dan penjaganya adalah orang Ambon. Setelah dibangunnya gereja Imanuel di lingkungan kampung ini banyak tinggal masyarakat dari golongan nasrani (beragama Kristen) dari suku Ambon, Jawa dan Batak. Sekarang kampung Pejambon termasuk dalam kawasan Kelurahan Gambir.
Pekojan
Merupakan nama Kampung, sekaligus nama Kelurahan yang terdapat di wilayah Jakarta Barat. Pekojan berasal dari kata Koja (Khoja) yang mengacu kepada nama tempat yang ada di India. Penduduk Koja pada umumnya adalah orang India yang senang berdagang, Orang Koja dalam berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam.
Karena banyaknya orang India yang umumnya mempunyai pekerjaan berdagang yang bermukim di daerah ini, maka Kampung ini disebut dengan Pekojan atau tempat tinggal orang Koja.
Pluit
Kawasan Pluit yang kini dikenal dengan perumahan mewahnya itu merupakan sebuah kelurahan, Kelurahan Pluit, termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.
Menurut peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, 1903, lembar H II dan III, demikian pula pada peta Plattegrond van Batavia, yang dibuat oleh Biro Arsitek di Batavia sekitar tahun 1935, sebutan bagi kawasan itu adalah Fluit, lengkapnya Fluit Muarabaru. Menurut kamus Belanda – Indonesia (Wojowasito, 1978:196), fluit berarti:
1. “suling”; 2. “bunyi suling”; 3. “roti panjang – sempit “.
Rupanya nama kawasan itu tidak ada hubungannya dengan suling, atau pluit semacam pluit wasit sepakbola, atau pluit polisi lalu – lintas. Demikian pula dengan roti panjang – sempit. Ternyata nama kawasan tersebut berasal dari kata fluit, yang lengkapnya: fluitschip, yang berarti “kapal (layar) panjang berlunas ramping”, seperti yang dijelaskan dalam verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenoen – Endepols, 1948:281). Sekitar tahun 1660 di pantai sebelah timur muara. Kali Angke diletakan sebuah fluitschip, bernama Het Witte Paert, yang sudah tidak laik laut, dijadikan kubu pertahanan untuk membantu Benteng Vijhoek yang terletak di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke, dalam rangka menanggulangi serangan serangan sporadis yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Kesultanan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit (De Haan 1935:104).
Sebutan Fluit yang berubah menjadi Pluit, ternyata berlanjut sampai dewasa ini, mengingatkan kita pada suasana sekitar pertengahan abad ke-17.
Pondok China
Merupakan sebutan nama untuk kampung yang ada di perbatasan Jakarta dengan daerah Depok Jawa Barat. Menurut sejarah nama Pondok China berasal dari sebutan tempat tinggal sementara bagi orang – orang China yang mengelola tanah pertanian yang ada disekitar Depok. Karena jarak Depok dengan Batavia cukup jauh, maka diperlukan pemondokan sementara bagi pekerja penggarap tanah partiklelir tersebut. Pondokan itu dibangun dilokasi kampung Pondok China sekarang.
Kemudian dilokasi pemondokan ini oleh orang China dibangun rumah besar yang cukup bagus dan oleh masyarakat disebut dengan Pondok China.
Pondok Gede
Merupakan penyebutan wilayah yang ada dipinggiran sebelah Timur Jakarta yang berbatasan dengan daerah Bekasi. Yang tersisa sekarang adalah penyebutan untuk Pasar Pondok Gede. Nama Pondok Gede berasal dari sebuah bangunan besar yang disebut dengan Landhuis. Bangunan Landhuis adalah rumah besar yang terletak dipinggiran kota sebagai tempat tinggal dan sekaligus sebagai tempat pengurus usaha pertanian dan peternakan.
Sekitar tahun 1775 lokasi ini adalah lahan pertanian dan peternakan yang disebut juga dengan anderneming. Pondok Gede adalah milik tuan tanah yang bernama Johannes Hoojiman yang kaya raya. Bangunan pondok gede merupakan satu – satunya bangunan rumah besar yang ada dilokasi tersebut dan bagi masyarakat pribumi sering disebut pondok gede.
Pondok Labu
Kawasan Pondok Labu dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah Kecamatan Cilandak Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama kawasan itu diambil dari kata majemuk pondok dan labu. Pondok berarti “gubuk”, atau “dangau – dangau tempat pemondokan atau ‘ tempat penginapan sementara”. Labu adalah nama beberapa macam tanaman merambat, antara lain labu yang bahasa ilmiahnya Lagenaria hispida Ser.
Famili Cucurbitaceae, yaitu labu besar yang biasa dimakan (Fillet 1888: 193). Kata majemuk pondok- labu dapat berarti “pondok atau gubuk yang dirambati ( tanaman) labu”
Kawasan Pondok Labu baru disebut – sebut pada tahun 1803 sebagai milik Pieter Walbeck, disamping Cinere dan Lebak Bulus yang pada jaman dulu oleh orang – orang Belanda biasa Simplicitas (baca Simplisitas). Di kawasan Pondok Labu tuan tanah tesebut mempunyai penggilingan padi dan sebuah rumah peristirahatan yang diberi nama Simplicitas (De Haan 1910, (I):103). Pada peta yang dibuat oleh Topographisch Bureau, Batavia 1900, penggilingan padi dan rumah peristirahatan itu terletak tidak begitu jauh dari Kali Pesanggrahan sebelah utara Rempoa.
Pondok Rangon
Merupakan nama kampung yang ada diperbatasan Jakarta dengan Bekasi di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Wilayah Pondok Rangon cukup luas dengan batasnya:
-Sebelah Utara berbatasan dengan markas Hankam Cilangkap
-Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Jagorawi dan
-Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sunter dan Pondok Gede
Asal – Usul nama Kampung Pondok Rangon berdasarkan cerita lisan masyarakat adalah sebagai berikut. Pada masa lalu ada seorang lelaki tua (aki – aki) yang bermukim disuatu tempat dengan seorang nenek – nenek yang ditemukan ditempat tersebut tanpa melalui perkimpoian. Bagi masyarakat Sunda menyebut kehidupan kakek nenek itu dengan istilah Rangon. Karena kakek nenek itu tinggal disuatu pondok, maka masyarakat menyebut tempat itu dengan nama pondok rangon.
Ragunan
Kawasan Ragunan dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Ragunan, termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang tuan tanah pertama kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, yang biasa disebut Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Menarik untuk disimak, bagaimana seorang Belanda kelahiran Steenwijk, dianugerahi gelar begitu tinggi oleh Sultan Banten, musuh Belanda. Sekilas, rangkaian peristiwanya mungkin dapat digambarkan sebagai berikut.
Pada tahun 1675 dari Banten terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan, tempat bertahtanya Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar Dua bulan setelah kebakaran itu datanglah Hendrik Lucaasz. Cardeel, seorang juru bangunan, mengaku melarikan diri dari Batavia, karena ingin memeluk agama Islam dan membaktikan dirinya kepada Sultan Banten bak pucuk dicinta, ulam tiba, Sultan sedang membutuhkan ahli bangunan berpengalaman, tanpa dicari dating sendiri. Kemudian Cardeel ditugasi memimpin pembangunan istana, dan kemudian bangunan – bangunan lainnya, termasuk bendungan dan istana peristirahatan si sebelah hulu CiBanten, yang kemudian dikenal dengan sebutan bendungan dan istana Tirtayasa.
Seluruh perhatian sultan Tirtayasa seolah – olah tersita kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Cardeel. Rupanya tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya untuk melakukan suatu gerakan militer ke Batavia, ketika sebagian besar kekuatan Kompeni sedang dikerahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunijoyo, dari tahun 1677 sampai akhir tahun 1681.
Dalam pada itu Sultan Haji terus – menerus mendesak agar dia segera dinobatkan menjadi Sultan. Akhirnya terjadilah perang perebutan tahta antara ayah dan anak. Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan ke Batavia , untuk meminta bantuan Kompeni. Dengan bantuan Kompeni akhirnya Sultan Haji berhasil menduduki tahta Kesultanan Banten, sudah barang tentu dengan keharusan memenuhi segala tuntutan penolongnya, Belanda.
Adapun yang diutus ke Batavia, untuk meminta bantuan itu, tidak lain tidak bukan, adalah Kiai Aria Wiraguna, alias Cardeel. Atas jasanya itu, Cardeel ditingkatkan gelarannya, menjadi Pangeran Wiraguna.
Beberapa tahun kemudian oleh Pangeran Wiraguna Kesultanan Banten terasa sempit, karena semakin banyak yang tidak menyukainya. Pada tahun 1689 Cardeel pamit kepada Sultan, dengan dalih akan pulang dahulu kenegerinya. Tetapi ternyata dia terus menetap di Batavia, kembali memeluk agama Kristen dan menjadi tuan tanah yang kaya raya. Tanahnya yang terluas adalah dikawasan yang namanya sampai dewasa ini mengingatkan kita pada seseorang Belanda jaman VOC yang sangat beruntung, Hendrik Lucaasz Cardeel bergelar Pangeran Wiraguna, yang makamnya oleh sementara orang bangsa Indonesia dikeramatkan
Bersambung...