24/06/11

Bahasa: Identitas Bangsa

"Sorry, hari ini gue minta izin mau off dulu. Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting."

Tiga kalimat pendek tersebut, kedengarannya enak dan terkesan gaul. Bahkan bisa disebut si penuturnya intelek bergaya metropolitan. Tetapi, adakah yang aneh atau janggal dari kalimat yang sering ter- dengar dalam percakapan sehari-hari di masyarakat, terutama di Jakarta dewasa ini?
Sepintas memang kelihatan tidak ada masalah dengan ucapan seperti itu. Apalagi, zaman sekarang memang dituntut kreativitas. Bagi masyarakat awam, bahasa lisan di atas, sepintas tak bermasalah. Tetapi, bagi kalangan ahli bahasa Indonesia, kalimat tersebut sangat merisaukan. Mengapa?
Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Dendy Sugono yang ditemui SP belum lama ini di Jakarta mengaku risau dengan penggunaan bahasa yang campur aduk itu. Dendy pun mengingatkan ada banyak kesalahan berbahasa tersebut.
Kalimat yang benar dari,"Sorry, hari ini gue minta izin, gue mau off dulu" adalah,"Maaf, hari ini saya mau minta izin, saya mau libur/tidak kerja dulu." Demikian pula, dua kalimat,"Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting", yang benar adalah,"Tunggu sebentar, saya tidak bisa menelepon Anda. Saya sedang rapat." Kesalahannya adalah mencampuradukkan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Betawi.
Bahasa, menurut Dendy Sugondo, digolongkan menjadi bahasa lisan dan tulisan. Bahasa lisan, dibagi lagi menjadi bahasa lisan formal dan nonformal (cakap, Red). Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Keduanya berfungsi sebagai alat komunikasi dan identifikasi diri, serta tetap harus mengindahkan kaidah bahasa yang baik dan benar. Sebab, para ahli sepakat bahwa bahasa yang dibentuk oleh kaidah aturan serta pola tertentu, tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan kesalahan interpretasi dalam komunikasi.
Kecenderungan di Indonesia, lanjut Dendy, penutur memadukan bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah. Kebiasaan itu bisa disebut "kreatif", tetapi merusak kaidah bahasa.
Penggunaan bahasa Indonesia yang salah di ruang publik berdampak buruk pada perkembangan kebahasaan nasional. Ketidakteraturan berbahasa adalah cerminan ketidakpahaman atau ketidakdisiplinan terhadap tata bahasa.
Sementara itu, dosen program studi Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Asep Sambodja mengatakan bahasa percakapan anak-anak muda di televisi terdengar masih kacau dan cuek dengan kaidah. Ada campur-aduk bahasa yang tidak pada tempatnya. Tetapi, redaktur majalah Susastra itu juga melihat ada anak muda yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memperlihatkan penguasaan bahasa Indonesia yang canggih.
Kaidah Bahasa
Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak mengikuti kaidah, menurut Dendy, akan merusak penggunaan dan pemahaman bahasa Indonesia pada anak-anak dan masyarakat. Celakanya, bahasa pada iklan banyak yang menyalahi kaidah bahasa Indonesia, padahal media itu sangat cepat dicerna dan ditiru anak-anak dan masyarakat. Contohnya, iklan rokok yang berbunyi "Nggak Ada Loe, Nggak Rame". Jika mengikuti kaidah, seharusnya "Kalau Anda Tidak Ada, Suasananya Tidak Ramai".
Selain bahasa iklan, penggunaan bahasa asing untuk nama jalan atau petunjuk, seperti di kawasan perumahan elite dan toko swalayan, juga merusak dan menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Padahal, orang asing yang tinggal di Indonesia justru lebih fasih berbahasa Indonesia.
Dendy berharap setiap insan Indonesia menjunjung tinggi bahasanya, meskipun menguasai bahasa asing. Harapan itu terutama ditujukan kepada pejabat dan tokoh publik. Ketika berpidato atau dalam acara resmi, pejabat hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Para pendiri bangsa, kata Dendy, sadar akan fungsi, peran, dan kedudukan bahasa Indonesia. Kerap kali orang salah kaprah dengan Sumpah Pemuda, khususnya menyangkut bahasa Indonesia, dengan menyatakan berbahasa satu. Padahal, bunyinya,"Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Jadi, bukan bahasa satu, yang seolah-olah tidak boleh berbahasa asing ataupun bahasa daerah.
Makna yang dalam dari Sumpah Pemuda adalah setiap warga negara boleh, bahkan dituntut menguasai bahasa asing untuk meningkatkan pergaulan, tetapi tetap harus menjunjung bahasa Indonesia. Ikrar itu juga bermakna, selain bahasa Indonesia, bahasa daerah yang merupakan kekayaan bangsa, tetap harus dipelihara.
Dendy berharap peringatan Sumpah Pemuda kali ini menjadi momentum menghidupkan kembali "roh" bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa persatuan hendaknya menjadi jiwa bagi setiap warga Indonesia. Kalau setiap warga negara mencintai dan bangga berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan sendirinya "roh" bahasa persatuan akan terus hidup dan berakar.
Ungkapan bahasa menunjukkan bangsa, sangat diharapkan terwujud. Sebab, ungkapan itu memiliki makna filosofi yang dalam. Kebiasaan para penutur bahasa, oleh ahli bahasa disebut sebagai refleksi perilaku masyarakat dalam bernegara. Ketika warga tidak disiplin berbahasa, bisa ditafsirkan sebagai ketidaktaatan warga terhadap aturan negara.

Identitas Diri Dalam Kongres III Bahasa Indonesia di Jakarta 28 Oktober- 3 November 1978, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo yang tampil dengan makalah berjudul Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan Ketahanan Nasional (Depdiknas, 1983), mengingatkan pentingnya bahasa dalam pertahanan nasional. Menurutnya, ketahanan nasional tak mungkin ada apabila bangsa itu tidak memiliki identitas dan harga diri.
Bahasa Indonesia yang merupakan produk perjuangan nasional, kata Sayidiman, mempunyai saham penting untuk memberikan identitas tersendiri pada bangsa kita. "Meskipun terdiri dari sekian banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, ditambah dengan besarnya dialek, tetapi kita telah berhasil mengkreasikan bahasa nasional yang digunakan di seluruh wilayah nasional yang luas itu. Inilah jasa Sumpah Pemuda 1928 dan perjuangan setelah itu untuk mewujudkan kepada sumpah tersebut," ujarnya.
Tidak hanya Sayidiman, jauh sebelumnya pujangga besar Sutan Takdir Alisjahbana dalam berbagai karya sastranya telah menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan tersebut. Dalam buku berjudul Dari Perdjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957) terungkap bagaimana Sutan Takdir Alisjahbana berjuang menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan itu.
Dalam buku itu disebutkan bagaimana penjajah Belanda hendak mengganti bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bumiptera di Aceh dengan bahasa Aceh. Upaya itu akhirnya gagal setelah diprotes pemuda Indonesia melalui surat kabar yang terbit di Pulau Jawa ketika itu.
Di sisi lain, buku ini juga mengingatkan bagaimana tokoh Belanda, Prof Kern sejak 1890 meminta pemerintahnya mengajarkan bahasa Belanda di sekolah-sekolah bumiptera jajahannya. Anjuran itu didukung Dr Nieuwenhuis (meninggal 1931) tentang perlunya mengajarkan bahasa Belanda di kalangan bangsa Indonesia.
Dia bahkan mengkritik bangsanya, bahwa selama 300 tahun menjajah Indonesia, Belanda mengabaikan kewajiban menyebarkan bahasanya.
Kritik Nieuwenhui itu memang telah dibuktikan Spanyol yang pernah menjajah Filipina. Meskipun Amerika Serikat bersusah payah memasukkan bahasa Inggris di Filipina pascapenjajahan Spanyol, bahasa Spanyol tetap digunakan di negara itu.
Demikian pula Inggris yang telah kehilangan jajahannya, seperti Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara yang kini masuk negara persemakmurannya di Asia dan Afrika, tetapi budaya dan bahasa Inggris tetap melekat dan menjadi bahasa resmi di negara bekas jajahannya itu. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara bekas jajahan Prancis. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan, bahasa sangat penting dalam kehidupan berbangsa.
Dalam seminar Majelis Bahasa Malaysia, Brunei, dan Indonesia (Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung April 2008 di Jakarta, ketiga negara penutur bahasa Indonesia/Melayu, sepakat menjadikan bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa dunia. Ketiga negara itu berobsesi meningkatkan martabat bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa pergaulan internasional dengan lebih banyak menyerap kosa kata ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.
Kalau Malaysia dan Brunei saja peduli pada bahasa Indonesia/Melayu, maka bangsa Indonesia sebagai penutur terbesar bahasa itu, seharusnya lebih menjunjung tinggi bahasa persatuan tersebut. Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda dan Kongres IX Bahasa Indonesia hendaknya menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang harus dijunjung tinggi dengan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. [SP/Marselius Rombe Baan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar