24/06/11

Bahasa Indonesia: Pemersatu atau pembauran?

Ariel Heryanto
Bahasa Indonesia, seperti bangsa Indonesia, sejak dari sono-nya merupakan gado-gado alias campuran atawa indo bin blasteran, binti hibrid. Dalam bahasa kita, mengalir lancar istilah Melayu, Jawa, India, China, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dan seterusnya. Sama sekali ini bukan cela, noda, atau bencana. Tapi juga bukan barang unik, atau berkah istimewa. Itu ciri milik semua bahasa dan bangsa mutakhir.
Di mata para peneliti, masuk-keluar dan nongkrong-nya istilah yang semula asing ke tubuh bahasa Indonesia itu tidak kebetulan, atau acak-acakan. Ada polanya. Dan pola itu tidak sama dari zaman ke zaman.
Yang namanya Soempah Pemoeda 1928 lahir dari sebuah kongres yang membahas makalah-makalah berbahasa Belanda yang ditulis pemuda-pemudi Indonesia. Di kalangan orang sekolahan pada generasi itu, bahasa-bahasa Eropa perlu dikuasai sebaik-baiknya. Bukan hanya untuk kepentingan karier pribadi, tapi juga kepentingan bangsa dan "kemajuan" alias modernitas masyarakat ini.
Lazim sekali cendekia pribumi lulusan sekolah kolonial pada masa itu menguasai dua atau tiga bahasa Eropa sekaligus. Tapi, bagaimana pun fasihnya, bagi mereka bahasa-bahasa Eropa itu merupakan bahasa asing. Semacam alat yang bisa dipakai bila diperlukan, atau dilepas bila tidak diperlukan. Mereka tetap menggunakan bahasa-bahasa daerah di Nusantara, sebagai bahasa-ibu.
Di sinilah ironisnya. Berbagai bahasa asing dan Nusantara berhamburan setiap kali Presiden Soekarno berpidato. Tapi, dia juga presiden yang paling galak menentang politik imperialisme Barat, pimpinan Amerika Serikat. Ia menentang masuknya musik pop Barat dan memenjarakan musikus Indonesia yang ikut-ikutan musikus pop Barat.
Pada masa Orde Baru, ironi berlanjut, tetapi secara terbalik.
Sejak revolusi kemerdekaan, dan terlebih-lebih lagi sejak berjayanya pemerintahan Orde Baru, terjadi banjir modal dan budaya pop dari Barat, khususnya Amerika Serikat. Bukan cuma Coca-Cola, tetapi juga slogan dan iklannya. Bukan cuma banjir film Holywood, tapi juga jazz, rock, pop top 40, soul, raegge, punk, dan hiphop. Bertolak belakang dengan semangat revolusioner pemerintahan sebelumnya, sejak Orde Baru pemandangan kota-kota Indonesia dipadati istilah Inggris. Kursus bahasa Inggris versi Amerika hiruk-pikuk menggantikan serunya pawai partai di zaman sebelumnya.
Ironisnya, bersamaan dengan semua itu terjadi kemerosotan yang mencolok pada rata-rata kemampuan cendekiawan di negeri itu dalam berbahasa Inggris secara formal. Yang lebih parah, para pemimpin nasional Orde Baru bahkan tampak kerepotan berbicara, apalagi menulis, bahasa Indonesia.
Maka tidak aneh, sepuluh tahun setelah merasakan enaknya kekuasaan negara, di tahun 1975 pemerintah Orde Baru menyediakan modal besar-besaran untuk program Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasilnya? Sampai di akhir masa kekuasaannya, Soeharto si "Bapak Pembangunan Indonesia" kesusahan berbicara bahasa Indonesia secara "baik dan benar". Apalagi berbahasa asing!
Bagaimana dengan bahasa anak-anak gaul Indonesia di kedua zaman? Para sarjana asing (Ben Anderson, Krishna Sen, dan David Hill, misalnya) mencatat pergeseran yang serupa. Sebelum bangkitnya Orde Baru, istilah-istilah Inggris berhamburan dalam komik, karikatur, atau juga grafiti. Semuanya tampil sebagai bahasa milik bangsa asing yang ditolak atau digairahi. Hal serupa masih berlanjut dalam film nasional Indonesia di zaman Orde Baru. Dalam film di masa itu, bahasa Inggris, seperti wajah Indo berperan sama dengan gambar adegan film yang diambil di negeri-negeri bermusim empat. Semuanya hiasan tempel pemikat konsumen. Semuanya serba asing dan tidak menjadi bagian terpadu dari kisah yang dituturkan.
Tapi itu pada film. Ceritanya lain pada bacaan pop. Sejak berjayanya Orde Baru, bahasa Inggris menjadi bagian yang tidak bisa dihindarkan oleh generasi novelis Lupus, majalah Hai, atau Gadis. Apalagi sejak RCTI mengudara, dan disusul MTVAsia.
Sekarang generasi gaul Orde Baru dan pasca-Orde Baru kesusahan menyelesaikan satu kalimat berbahasa Indonesia tanpa menggunakan istilah Inggris. Maka, suka atau tidak suka Engdonesian menjadi lingua franca generasi gaul Indonesia di kota-kota: "Hei bebi, long time no see. Lho apa ini? Oh, ngasih oleh-oleh? For mi? Repot-repot aja. Waduh, so lovely! Ai laf yu. Tengku ya. Nanti malam bisa ikutan diner ama kita-kita? Aku sudah buking-in buat kamu. Plis join as. Gitu dulu, ya. Bai-bai."
Tadinya selama berpuluh tahun di sekitar kita hanya ada Taglish (Tagalog English) dan kemudian Singlish (Singaporean English). Di negeri kita lain. Belanda enggan mengajarkan bahasa Eropa pada kaum terjajah di Hindia Belanda. Maka, sesudah puluhan tahun Belanda pergi, Indonesia tidak pernah mengalami gejala post-kolonial. Yang ada hanya gejala kolonial dan antikolonial berkelanjutan.
Sebagai orang yang bertahun-tahun mengkritik propaganda Bahasa Indonesia Baik dan Benar dua puluh tahun lalu, saya sempat terperangah oleh maraknya gejala Engdonesia. Seakan-akan wilayah publik urban di Indonesia saat ini telah menjadi lembaran-lembaran majalah Hai, Gadis, novel Lupus, atau studio MTV Asia. Patut disesalkan? Tidak, untuk saya. Itulah budaya pop urban.
Tapi sejujurnya, Engdonesia membunuh selera baca saya ketika ramai-ramai dipakai wartawan untuk menyampaikan laporan jurnalistik resmi atau oleh penulis kolom di media cetak.
Saya kagum kreativitas anak-anak muda sekarang menciptakan istilah-istilah baru untuk berkirim SMS. Seperempat abad lalu, generasi saya punya padanannya, berkat adanya telegram. Waktu itu belum ada internet atau faksimile. Kening saya berkerut ketika ada mahasiswa menggunakan istilah-istilah SMS dalam menuliskan tugas kuliahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar